SANGATTA – Pemangkasan dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat terhadap daerah penghasil tambang dan sawit di Kalimantan Timur, termasuk Kutai Timur (Kutim), menuai kritik dari pimpinan DPRD Kutim. Anggota legislatif menilai kebijakan ini tidak adil karena keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam diambil sebagian besar oleh pemerintah pusat, sementara dampak ekologis tetap ditanggung daerah.
Wakil Ketua DPRD Kutim, Prayunita Utami, menegaskan, merosotnya penerimaan DBH hingga 73 persen seperti yang dialami Kutim dan beberapa kabupaten lain se-Indonesia sangat merugikan pembangunan daerah.
“Kami tidak menolak bagi hasil untuk pusat, tapi apa yang terjadi saat ini sangat timpang. Daerah menanggung risiko lingkungan, menanggung penurunan kualitas udara dan air, menanggung bencana sosial, tapi dana ke daerah justru dipotong besar-besaran,” ujarnya kepada ulinborneo.id ditemui di Kantor DPRD Kutim, Kawasan Bukit Pelangi, Sangatta, Rabu, 9 Oktober 2025.
Menurut Pray, sapaan akrabnya, DBH seharusnya menjadi instrumen untuk menyeimbangkan dampak ekonomi dan lingkungan dari kegiatan pertambangan maupun sawit di Kutim. Daerah yang bersentuhan langsung dengan operasi tambang menghadapi kerusakan hutan, polusi, hingga peningkatan kebutuhan infrastruktur untuk menahan dampak sosial. Namun dengan pemangkasan ini, pemerintah daerah kehilangan kemampuan finansial untuk melakukan mitigasi yang memadai.
“Kalau dulu kami bisa menggunakan DBH untuk membangun fasilitas kesehatan, sekolah, jalan, dan mitigasi lingkungan, sekarang alokasinya dipangkas drastis. Itu artinya masyarakat Kutim yang menanggung beban paling besar, tetapi mendapat manfaat paling kecil,” tambahnya.

Pray menilai pemerintah pusat belum mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari kebijakan ini. Pemangkasan DBH dapat menghambat pembangunan infrastruktur yang penting bagi masyarakat lokal, memperlambat layanan publik, dan melemahkan ketahanan ekonomi daerah. Daerah yang kaya sumber daya alam, seharusnya tidak justru dibatasi kapasitas anggarannya untuk pembangunan.
Legislatif Kutim juga menyoroti ketidakjelasan formula perhitungan DBH yang diterapkan pemerintah pusat. Pemangkasan hingga 70 persen dinilai terlalu besar dibandingkan kontribusi fiskal yang diberikan daerah melalui pajak, retribusi, dan izin operasi perusahaan tambang. Pray menuntut agar pemerintah pusat meninjau kembali kebijakan tersebut dan memberikan porsi yang lebih adil bagi daerah penghasil.
“DBH itu soal keadilan. Pemerintah pusat seolah merampok hasil alam kami. Tidak mungkin daerah terus menanggung kerusakan lingkungan tanpa mendapatkan kompensasi yang layak. Pusat harus ingat, tambang tidak berada di Jakarta, tapi di desa-desa kami,” tegasnya.
Politikus Partai Nasdem itu mendorong dialog terbuka antara pemerintah pusat dan daerah untuk merumuskan mekanisme DBH yang lebih proporsional. Daerah penghasil harus mendapatkan bagian yang memadai untuk pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tanpa itu, ketimpangan antara keuntungan pusat dan kerugian daerah akan terus membesar, memperparah disparitas pembangunan di Kalimantan Timur.
Pray menegaskan kebijakan DBH tidak malah menambah beban daerah, melainkan benar-benar menjadi alat untuk kesejahteraan rakyat yang menanggung dampak langsung operasi pertambangan. (che)
